PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring
dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan.
Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam
dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat
kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal
ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang
ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang
sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap
kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah
kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak
ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan
tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan
memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan
itu sendiri.
Lokalitas
kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma
kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil
sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat
dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan
tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial
masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya
semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal
inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan
semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise
ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai
homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan
atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk
beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu
yang transendental. Di sinilah yang disebut etos bangsa itu muncul.
Sebenarnya
etos bangsa kita juga sudah banyak disinggung oleh para pujangga seperti dalam
“Serat Wedatama” karya Mangkunegoro IV yang disebutnya sebagai etos “mesu
budi”. Etos ini merupakan suatu ajakan untuk mementingkan penampilan yang
bermutu baik lahir, maupun batin, atau kalau dalam bahasa modern disebut juga
etos intelektual.
Kemudian, etos
intelektual inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan terus
menciptakan hal-hal baru guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga
masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi
masyarakat yang modern disebut dengan istilah Modernisasi. Jadi dengan kata
lain, modernisasi
ialah suatu proses transformasi total, suatu perubahan masyarakat dalam segala
aspeknya.
B. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan
Masyarakat Menjadi Masyarakat yang Modern
1. perkembangan ilmu
2. perkembangan teknologi
3. perkembangan industri
4.
perkembangan
ekonomi
C.
Gejala-gejala Modernisasi
1.
Bidang IPTEK
Gejala
Modernisasi di bidang IPTEK ditandai dengan adanya penemuan dan pembaharuan
unsur teknologi baru yang dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.
2.
Bidang Ekonomi
Gejala
Modernisasi di bidang Ekonomi ialah meningkatnya produktivitas ekonomi dan
efisiensi sumber daya yang tersedia, serta pemeanfaatan SDA yang memperhatikan
kelestarian alam sekitar
3.
Bidang Politik dan Idiologi
Pada
bidang ini, gejala modern ditandai dengan adanya system pemerintahan perwakilan
yang demokratis, pemerintah yang diawasi dan dibatasi kekuasaanya, dihormati
hak-hak asasinya serta dijaminnya hak-hak sosial.
4.
Bidang Agama dan Kepercayaan
Gejala
Modernisasi di bidang Agama dan Kepercayaan ditandai dengan adanya pengembangan
nalar (rasio) dan kebahagiaan kebendaan (materi), yang pada akhirnya akan
menimbulkan paham sekularisasi dan sekularisme
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat
modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai
budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya
masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat
kota. Namun tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat
modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke masa kini, misalnya
gelandangan.
B.
Ciri-ciri Masyarakat Modern
1.
Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan
pribadi.
2.
Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang
saling memepengaruhi
3.
Keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4.
Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat dipelajari dan
ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan
5.
Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
6.
Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks
7.
Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkanatas
penggunaan uangdan alat-alat pembayaran lain.
C.
Masyarakat Modern dilihat dari berbagai Aspek
Aspek
Mental Manusia :
1.
Cenderung didasarkan pada pola
pikirserta pola perilaku rasionalatau logis, dengan cirri-cirimenghargai karya
orang lain, menghargai waktu, menghargai mutu, berpikir kreatif, efisien,
produktif percaya pada diri sendiri, disiplin, dan bertanggung jawab.
2.
Memiliki sifat keterbukaan, yaitu
dapat menerima pandangan dan gagasan orang lain.
Aspek Teknologi :
1. Teknologi
merupakan factor utama untuk menunjang kehidupan kearah kemajuan atau
modernisasi.
2. Sebagai hasil
ilmu pengetahuan dengan kemampuan produksi dan efisiensi yang tinggi.
Aspek Pranata Sosial :
I. Pranata
Agama :
Relatif kurang
terasa dan tampak dalam kehidupan sehari-hari, diaibatkan karena sekularisme
II. Pranata
Ekonomi :
1.
Bertumpu pada sektor Indusri Pembagian kerja yang lebih tegas dan memiliki
batas-batas yang nyata.
2.
Pembagian kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin kurang terlihat.
3.
Kesamaan kesempatan kerja antar priadan wanita sangat tinggi.
4.
Kurang mengenal gotong-royong.
5.
Diobedakan menjadi tiga fungsi, yaitu: produksi distribusi, dan konsumsi.
6.
Hampir semua kebutuhan hidupmasyarakat diperoleh melalui pasar dengan
menggunakan uang sebagai alat tukar yang sah.
III.
Pranata Keluarga :
1.
Ikatan kekeluargaan sudah mulai lemahdan longgar, karena cara hidup yang
cenderung inidividualis.
2.
Rasa solidaritas berdasarkan kekerabatan umumnya sudah mulai menipis.
IV. Pranata
Pendidikan :
Tersedianya
fasilitas pendidikan formal mulai dari tingkat rendah hingga tinggi, disamping
pendidikan keterampilan khusus lainnya.
V. Pranata
Politik :
Adanya pertumbuhan
dan berkembangnya kesadaran berpolitik sebagai wujud demokratisasi masyarakat.
D. Gambaran
Umum Kehidupan Masyarakat Modern
Pada
kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri,
sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan
keluarga.
Sehingga
dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi
menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul
penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola
kerja.
Yang
terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena
dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya
sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi
krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan
sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman
dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga
nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis
dan waktu mitologi.
Para
penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu
jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia,
dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new
sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya
modern.
Kebiasaan
dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan
nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan
pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi,
yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
E. Kebudayaan Modern
Proses
akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur,
dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam
ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the
things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan
spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan
secara positif.
Akan
tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi,
karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau
penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan
masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain
sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan
Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin
luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah
kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional
yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas
tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan
menjadi tiga macam yaitu:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern
dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak
Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas
sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa
dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang
kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam
putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan
bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang
diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media
komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah
tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup
sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti
tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak
mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis,
Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala
macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa
mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan
Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu
yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan
itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan
teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan
simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang
internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried
Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh
hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty
free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun
sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya
artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang
bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern.
Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap
identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin
membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa
kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri
sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan,
blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme:
orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa
yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini,
bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi
kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena
ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya
manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan
Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan
Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia
mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain,
akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan
barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka
masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu
belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan
Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga
belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang
pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan
moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
F. Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern
1. Kebudayaan Modern Tiruan
Tantangan
yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia
mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah
semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa
kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan
Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar
biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang
dasar harga diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu
bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan
diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan
penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas.
Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita
sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan
(Suseno;1992)
2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
Ki
Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam
mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi
manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan
gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja
tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju dan menciptakan teknologi
yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat
mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan
membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan
hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan
berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.
3. Masalah Pendidikan yang Tepat
Pendidikan
masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini ingin
dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal
ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian
bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya.
Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang
kita terapkan.
4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Problem
ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas
produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum
berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para
ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru.
Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan
terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar
ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.
5. Kondisi Alam Global
Beberapa
waktu yang lalu di halaman depan harian Kompas tanggal 12 April 2007, ada
berita menarik mengenai keadaan bumi hari ini, ’Pemanasan Global, Jutaan Orang
akan Teracam”. Pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi
kehidupan ratusan juta warga di dunia. Demikianlah antara lain isi laporan
kedua PBB yang sudah dipublikasikan tahun 2007. Laporan pertama berisikan bukti
ilmiah perubahan iklim, sedangkan laporan ketiga akan membeberkan tindakan
untuk menanganinya.
Laporan
para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)
dibeberkan dalam jumpa pers secara serentak di berbagai belahan dunia, Selasa
(10/04/2007). Laporan setebal 1.572 halaman itu ditulis dan dikaji 441 anggota
IPCC.
Salah
satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang
lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin
mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050
mengakibatkan 130 juta penduduk dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian
gandum di Afrika juga akan mengalami hal yang sama.
Laporan
itu menggarisbawahi dampak pemanasan global berupa meningkatnya permukaan laut,
lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat.
Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di
kutub mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan
mengakibatkan terusan Panama terbenam.
Naiknya
suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai yang
selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering makin
kering, sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan
distribusi air secara alami ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam
pemanfaaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan penduduk.
Asia
menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah. Perubahan iklim yang tak terdeteksi
akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi
kemanusiaan. Laporan itu mengingatkan, setiap kenaikan suhu udara 2 derajat
celsius, antara lain akan menurunkan produksi pertanian di Cina dan Bangladesh
hingga 30 persen hingga 2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan
menurunya lapisan es di Pegunungan Himalaya. Sekitar 100 juta warga pesisir di
Asia pemukimannya tergenang karena peningkatan permukaan laut setinggi antara 1
milimeter hingga 3 milimeter setiap tahun. Saat ini, pemanasan global sudah
terasa dengan terjadinya kematian dan punahnya spesies di Afrika dan Asia
G. Dampak Negatif dari budaya
Masyarakat Modern
1.
Penyalahgunaan media teknologi sebagai sarana pencarian hal-hal yang tidak ada
hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
2.
Timbulnya praktek-peraktek curang dalam dunia kerja seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme.
3.
Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan
simbol-simbol politis dari initusi-institusi dan simbol-simbol religius.
Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi
didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius,
seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan Negara
konstitusional di zaman modern menandai proses ini. Konstitusi Negara modern
tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti pada Negara-negara
tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan pada prosedur-prosedur
birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak dan kebebasan setiap
warganegara. Mengapa masyarakat modern menempuh jalan sekularisasi? Karena
(1) Otoritas politis tidak merasa cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik
dan ingin juga memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan
oleh otoritas religius; dan (2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsur
‘subversif’ yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas. Sekularisasi adalah
upaya memberi batas-batas di antara kedua bidang itu dengan memandang keduanya
otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang lain. Dengan
sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam ruang privat,
tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan hidupnya.
Efek positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab doktrin-doktrin dan
nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di dalam politik.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
4.
Liberalisme adalah ideologi modern, karena ia muncul bersamaan dengan
modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern tak lain
daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang modernitas
tak kurang daripada cerita tentang liberalisme dan para lawannya. Dalam arti
ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan absolutisme
kekuasaan. Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi Negara, maka
liberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar orang
tidak bertransaksi dengan membeda-bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan.
Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang
melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan
untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai
persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh liberalisme
diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam Negara modern.
Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap
mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh mekanisme pasar bebas itu.
Namun liberalisme yang berkaitan dengan pendirian intelektual dan sikap-sikap
politis justru membantu sebuah masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan.
Jika Negara berkonsentrasi pada the problem of justice dan tidak mengintervensi
the problem of good life yang adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam
masyarakat itu, Negara akan menjadi milik bersama kelompok-kelompok sosial itu
dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal berupaya bersikap netral
terhadap agama-agama di dalamnya, dan ini justru mendukung kebebasan individu.
Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai hasil dari sekularisasi yang
tidak secara mutlak perlu bermuara pada sekularisme. Artinya, suatu Negara
liberal tidak harus sekularistis, yakni ingin menyingkirkan agama di dalamnya.
Negara liberal juga bisa memiliki respek terhadap agama, namun
regulasi-regulasinya tetap sekular. Ia bersikap netral dari agama, namun
memberi infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk berkembang, sebab para
anggota agama-agama itu adalah juga warganegaranya.
5.
Pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam kebudayaan dalam
bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi-orientasi nilai di dalam
masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah the fact of plurality, yakni suatu
kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, masyarakat itu
mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya. Pluralitas tidak serta merta
memunculkan pluralisme, karena tidak semua orang setuju pluralitas. Kaum
konservatif dan rmonatis, misalnya, akan meratapi pluralitas sebagai sindrom
disintegrasi sosial dan moral. Namun ada kelompok-kelompok yang menerima
pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan mencoba hidup bersama secara
toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari kalangan agama, cendikia, politikus
atau budayawan. Pandangan yang menerima pluralitas sebagai realitas hidup
bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana moral dan intelektual untuk
membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka orientasi nilai etnis,
religius ataupun poltis di dalam mayarakat modern itu kita sebut pluralisme.
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – di antara mereka konservatif garis keras – terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama. Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.
BAB II
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Perubahan
sosial mendorong munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru ,
sehinnga terjadilah revolusi industri, dan kemunculan semangat asketisme
intelektual. Kemudian, asketisme intelektual menimbulkan etos intelektual, dan
inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan terus menciptakan
hal-hal baru guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga masyarakat tersebut
menjadi masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi masyarakat yang modern
disebut dengan istilah Modernisasi.
I. Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat
modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai
budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini.
II. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Masyarakat
Menjadi Masyarakat yang Modern
1. perkembangan
ilmu
2. perkembangan
teknologi
3. perkembangan
industri
4. perkembangan
ekonomi
III. Gejala-gejala Modernisasi
1. adanya penemuan
dan pembaharuan unsur teknologi baru yang dapat meningkatkan kemakmuran
masyarakat.
2. meningkatnya
produktivitas ekonomi dan efisiensi sumber daya yang tersedia, serta
pemeanfaatan SDA yang memperhatikan kelestarian alam sekitar.
3.adanya
system pemerintahan perwakilan yang demokratis, pemerintah yang diawasi dan
dibatasi kekuasaanya, dihormati hak-hak asasinya serta dijaminnya hak-hak
sosial.
4.adanya
pengembangan nalar (rasio) dan kebahagiaan kebendaan (materi), yang pada
akhirnya akan menimbulkan paham sekularisasi dan sekularisme.
IV. Ciri-ciri Masyarakat Modern
1. Hubungan antar
manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.
2. Hubungan dengan
masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling memepengaruhi
3. Keprcayaan yang
kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
4. Masyarakatnya
tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat dipelajari dan ditingkatkan
dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan
5. Tingkat
pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
6. Hukum yang
berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks
7. Ekonomi hamper
seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkanatas penggunaan uangdan
alat-alat pembayaran lain.
V. Kebudayaan Modern
1. Kebudayaan
Tekonologis Modern merupakan suatu kebudayaan bukan hanya dalam sains dan
teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil
sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas
fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan
modern.
2. Kebudayaan
Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang
tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi
sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja
3.
Kebudayaan-Kebudayaan Barat
VI.
Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern
1. Kebudayaan
Modern Tiruan
2. Bagaimana
Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
3. Masalah
Pendidikan yang Tepat
4. Mengejar
Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
5.
Kondisi Alam Global
VII. Dampak Negatif dari budaya Masyarakat Modern
1.
Penyalahgunaan media teknologi
2.
Timbulnya praktek-peraktek curang
3.
Sekularisasi
4.
Liberalisme
5.
Pluralisme
B. Saran
Sebaiknya
kita sebagai masyarakat modern tidak harus menyerap semua budaya modernisasi,
agar tidak terjadi dampak-dampak negative dalam kehidupan kita sebagai
masyarakat yang modern.
Daftar Pustaka
Bakker, JWM. 1999. Filsafat
Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Davis, Kingsley.
1960. Human Society The Macmillan Company. New York.
Dewantara, Ki
Hajar. 1994. Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa..
Koentjaraningrat.
2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Sarjono. Agus R
(Editor). 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono.
1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Soemardjan, S dan
Breazeale, K. 1993. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact of Village
Development. Honolulu: UNS-YISS-East West Center.
Sorokin, Pitirim A.
1957. Social and Cultural Dynamics. Boston: Sargent.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar